-->
Thursday, January 16, 2014

Menelisik (Sosiologi) Tubuh By medhyhidayat.com


Menelisik (Sosiologi) Tubuh By medhyhidayat.com
Body - WP 
“Choose rather to be strong of soul than strong of body.”(Pilihlah jiwa yang kuat ketimbang tubuh yang kuat). – Pythagoras
 
TUBUH selalu menarik untuk dikaji secara sosiologis. Perdebatan tentang makna, peran dan fungsi tubuh senantiasa mewarnai sejarah peradaban umat manusia. Kajian sosiologis tentang tubuh sendiri sebenarnya baru muncul pada kurun waktu tahun 1980-an (Falk, 1994, p. vii). Sebelumnya, kajian secara serius mengenai tubuh lebih banyak dilakukan oleh para antropolog. Sosiologi klasik maupun modern hanya membicarakan persoalan tubuh sebagai sebagian kecil dari sejumlah aspek kehidupan sosial. Baru pada abad keduapuluh tema tubuh menjadi titik pusat perhatian secara serius dalam diskursus sosiologi.

Merujuk Bryan S. Turner, lahirnya kajian sosiologis tentang tubuh setidaknya didorong oleh sejumlah faktor (Falk, 1994, p. vii). Pertama, adanya pengaruh sosial dan politik gerakan feminisme di dunia akademik maupun masyarakat secara umum. Perdebatan seputar gender, seksualitas, dan eksploitasi tubuh perempuan dalam media misalnya telah melahirkan keprihatinan yang mendalam terhadap perlunya kajian tentang tubuh. Kedua, maraknya perdebatan etik diseputar persoalan penerapan teknologi medis bayi tabung, perkembangan virtual reality, serta penggunaan cyborg untuk kepentingan militer maupun industri. Perkembangan teknologi biomedis dan informatika ini mendorong munculnya pertanyaan-pertanyaan mengenai apakah sebenarnya tubuh, bagaimanakah proses pembentukannya dan dimanakah batas-batas etika tubuh manusia. Ketiga, munculnya perkembangan paham estetika tubuh dalam realitas kebudayaan konsumer. Budaya konsumer, yang didorong oleh logika kapitalisme, telah memposisikan tubuh sebagai semata komoditi dan objek produk industri kosmetik. Estetika tubuh kini menjadi tujuan aktivitas individu modern misalnya dengan teknologi bedah plastik, silicon breast, senam body language, body building dan fitness center sebagai lokomotif utamanya (Edy Darmono, 1998, p.46). Dalam kerangka inilah tubuh mendapat perhatian secara serius, terutama mengenai persoalan apakah makna estetikasi bagi tubuh tersebut.

Sementara itu, ranah kajian sosiologi tubuh berkembang dalam tiga wilayah utama (Falk, 1994, p. viii). Pertama, kajian tentang makna simbolik tubuh sebagai metafor dalam hubungan sosial. Persoalan kesucian dan profanitas tubuh sebagai representasi struktur sosial, konstruksi citra tubuh laki-laki dan perempuan dalam hubungan sosial, serta makna simbolik bagian-bagian tubuh dalam masyarakat merupakan sejumlah topik yang dibicarakan dalam ranah ini. Kedua, kajian tentang tubuh dalam hubungannya dengan persoalan gender dan seksualitas. Karya-karya Julia Kristeva dan Donna Haraway yang banyak mendapat inspirasi dari tulisan-tulisan Michel Foucault tentang kekuasaan dan seksualitas, misalnya, mencoba melacak proses pembentukan konstruksi tubuh perempuan melalui fashion, media dan mitos. Ketiga, kajian biomedis, yang membahas persoalan tubuh dalam kaitannya dengan isu-isu medis. Dalam ranah ini, sosiologi tubuh berperan memberikan batasan dan analisis mengenai fenomena-fenomena medis seperti penyakit, kegilaan dan obat-obatan dalam kerangka konstruksi sosial yang membentuknya.

Secara sosiologis, menurut Anthony Synnott, kajian tentang tubuh mencakup studi atas tubuh sebagai diri yang menubuh (embodied); studi atas tubuh sebagai sistem simbol dan proses semiotik; studi mengenai makna sosial dan budaya tubuh; serta studi mengenai proses sosialisasi dan kontrol diri yang menubuh secara politis. Atau dengan lain perkataan, sosiologi tubuh adalah wilayah disiplin sosiologi yang mempelajari bagaimana kita memahami tubuh, bagaimana kita mendiami tubuh, dan bagaimana kita mempergunakan tubuh dalam hubungan pribadi dan sosial (Synnott, 1992, p. 263).

Sementara itu, secara historis kajian tentang tubuh mengalami pasang surut seiring berjalannya waktu. Tubuh dipahami bukan semata-mata sebagai jasad yang kasat mata, namun sebagai produk konstruksi sosial yang senantiasa berubah-ubah mengikuti pandangan masyarakat dan waktu tertentu. Sepanjang sejarah umat manusia konsep tubuh senantiasa berbeda dan berubah-ubah. Tubuh juga selalu dipertentangkan dengan pikiran ataupun jiwa sebagai instrumen yang lebih utama dalam diri manusia. Semenjak zaman Yunani Kuno hingga sekarang, perdebatan klasik tersebut terus berlangsung tanpa ada titik akhir.

Dalam kebudayaan Yunani Kuno, tubuh mendapat dua sisi perhatian. Para pematung, pelukis dan penyair Yunani mengolah tubuh sebagai sumber inspirasi karya-karya mereka. Ajang olahraga Olimpiade yang juga lahir di Yunani semenjak tahun 776 SM begitu mengagung-agungkan kekuatan dan keperkasaan tubuh (kaum laki-laki). Namun demikian, menurut Synnott, pandangan negatif mengenai tubuh pada zaman ini lebih dominan (Synnott, 1992, p. 8). Plato misalnya, memandang tubuh sebagai penjara jiwa manusia. Ia mengatakan bahwa manusia harus berusaha melepaskan diri dari belenggu penjara tubuh agar dapat bebas menuju kesempurnaan jiwa. Tubuh bagi Plato dan pengikutnya, terutama Aristoteles dan Epikurus, adalah penghalang menuju keagungan dan kebahagiaan abadi (Synnott, 1992, p. 8). Meskipun terjadi perdebatan sengit mengenai peran dan kedudukan tubuh dan pikiran, peradaban Yunani Kuno dikenang sebagai era yang memberikan makna khusus bagi tubuh.
Sementara itu, kebudayaan Romawi memandang tubuh sebagai pembatas jiwa yang mewujud. Mengikuti pandangan Plato, para filsuf Romawi menyebut jiwa sebagai bagian roh Tuhan dan tubuh sebagai bagian roh hewan (Synnott, 1992, p. 10). Tubuh dengan demikian harus ditinggalkan bila hendak mencapai kesempurnaan hidup surgawi.

Pandangan mengenai tubuh mulai mengalami pergeseran pada era Renaisans. Pada kurun ini tubuh mendapatkan pemahaman positif dalam arti yang sesungguhnya. Para seniman, filsuf dan sastrawan Renaisans kembali menengok pandangan para seniman Yunani Kuno yang mengagung-agungkan tubuh. Lebih jauh, pandangan asketis tentang tubuh yang selama ini diyakini mulai digantikan oleh pandangan baru: tubuh sebagai sesuatu yang sekuler, tubuh yang indah, personal dan privat (Synnott, 1992, p. 18).
Sejarah tubuh terus bergulir seiring berjalannya waktu. Peradaban modern yang diawali dengan Pencerahan selanjutnya memahami tubuh sebagai mesin. Rene Descartes misalnya, menganalogikan tubuh sebagai sebuah jam yang bergerak tanpa pikiran. Prinsip-prinsip mekanik diberlakukan pada tubuh, sementara roh Ketuhanan diberlakukan pada pikiran (Synnott, 1992, p. 22). Marx dan Engels secara mendalam meneliti proses mekanisasi, animalisasi dan destruksi tubuh kaum pekerja pada permulaan perkembangan kapitalisme modern. Di dalam pabrik, menurut Marx dan Engels, pekerja tidak lebih sebagai perpanjangan fungsi mesin (Featherstone, 1991, p. 8). Lebih jauh, mesin-mesin pabrik merupakan ancaman bagi pekerja yang akan kehilangan pekerjaannya karena digantikan oleh mesin. Akibatnya, tubuh hanya dipahami sebagai sebuah mekanisme yang bekerja sebagaimana mesin, yang bergerak tanpa pikiran, tanpa kehendak dan tanpa keinginan.

Pandangan mengenai tubuh sebagai mesin mendapatkan peneguhan kembali pada kurun kedua abad keduapuluh. Pada era inilah teknologi biomedis makin berkembang sehingga memungkinkan penanganan tubuh dilakukan dengan lebih baik (Synnott, 1992, p. 27). Dengan teknologi biomedis tubuh dijaga, dirawat dan diperbaiki sebagaimana layaknya mesin. Tubuh kini tidak lagi ditakuti, dianggap berbahaya dan perlu diawasi setiap saat, melainkan sebaliknya, dinikmati, dimanfaatkan dan digembirakan.
Tubuh mengalami rekonstruksi kembali ketika paham eksistensialisme menyatakan bahwa tubuh adalah diri. Dengan menyanggah paham dualisme Descartes, Sartre menyatakan bahwa, “Saya menghidup dalam tubuh saya. Tubuh adalah siapa saya. Saya adalah saya, sebatas tubuh saya” (Synnott, 1992, p. 32). Nietzsche, dalam bukunya Thus Spoke Zarathustra sebelumnya juga telah mengatakan bahwa, “Disamping pikiran dan perasaan, terdapat Sang Penuntun yang lebih agung, yaitu diri. Ia mendiami tubuhmu, dan ia adalah tubuhmu” (Synnott, 1992, p. 25).
Tubuh juga mendapat pemahaman yang berbeda-beda menurut konteks sosial dan budaya yang mendukungnya. Setiap sosiolog dalam setiap zaman memiliki pandangan berbeda-beda mengenai tubuh. Marx, seperti disebut diatas misalnya, memahami tubuh sebagai instrumen produksi, represi dan bernilai ekonomi; Maus dan Mead memandangnya sebagai media pembelajaran; Hertz dan Douglas memahami tubuh sebagai simbol masyarakat; Durkheim memahaminya sebagai instrumen pengorbanan individu kepada masyarakatnya; Weber memahami tubuh sebagai media asketisme religius; Veblen melihatnya sebagai simbol status; Simmel memandang tubuh sebagai dasar eksistensi masyarakat; Goffman memahaminya sebagai simbol diri; serta Foucault yang memandang tubuh sebagai instrumen kontrol kekuasaan sosial secara politis (Synnott, 1992, p. 263).

Tubuh, masih menurut Synnott, pada hakekatnya memang bukan semata-mata tulang dan kulit, namun lebih jauh merupakan diri (Synnott, 1992, p. 1). Tubuh bukan representasi diri sebagaimana dianut para tokoh simbolik-interaksionisme, namun sungguh-sungguh tubuh adalah diri dan diri adalah tubuh. Tubuh dalam pengertian ini bukanlah tubuh secara fisik, namun tubuh yang terbentuk sebagai sebuah konstruksi sosial dan budaya. Sebagai diri, tubuh dapat memberikan informasi tentang banyak hal. Melalui usia, gender serta warna kulit, tubuh dapat memberikan arti tersendiri. Bagian-bagian tubuh beserta atributnya merupakan determinan dalam pembentukan konstruksi identitas diri. Wajah misalnya, merupakan bagian tubuh yang cukup penting dalam menggambarkan identitas diri. Hal ini, menurut Synnott, dikarenakan wajah memiliki empat dari lima pancaindera manusia, yaitu pendengaran, penglihatan, penciuman dan pencerapan. Melalui wajah seseorang dapat mengidentifikasi usia, gender, ras, status sosial, status ekonomi, emosi, karakter dan kepribadian seseorang.

Dalam pandangan Synnott, tubuh juga merupakan sarana mediasi sosial (Synnott, 1992, p. 2). Tubuh yang dikonstruksi secara sosial, sekaligus juga berfungsi secara sosial. Konsep-konsep gender, ras, seksualitas ataupun etnisitas yang merupakan entitas-entitas sosial kesemuanya berkaitan dengan tubuh. Lebih jauh, tubuh merupakan identitas diri. Identitas diri seseorang akan berubah bersama perubahan bentuk tubuhnya. Pubertas, kehamilan, penuaan, menopause dan kecelakaan yang menimbulkan kecacatan misalnya akan merubah konsep dan identitas diri seseorang tersebut.

Sementara itu tubuh dalam kebudayaan kontemporer dipahami sebagai sesuatu yang tidak lagi diterima apa adanya. Tubuh menjelma menjadi sesuatu yang bisa dibentuk, dirubah bahkan dipilih sesuai keinginan pemiliknya (Synnott, 1992, p. 34). Dengan kemajuan teknologi medis, tubuh juga tidak lagi orisinal. Katub jantung buatan, urat darah polimer, mata elektronik, telinga dan hati implant, menjadi bagian tubuh kontemporer. Tubuh pun menjadi ambigu. Tubuh yang diciptakan dan dikonstruksi sendiri oleh manusia.

Tubuh dalam realitas kebudayaan populer dipahami sebagai media atau instrumen kenikmatan duniawi dan sekaligus sarana ekspresi diri (Falk, 1994, p. 20). Citra tubuh yang cantik, menarik serta seksual dan dikaitkan dengan paham hedonisme, kesenangan dan penampilan, melahirkan konsep tubuh sebagai diri yang menampak. Mike Featherstone menjelaskan bahwa bersama meledaknya budaya konsumer, iklan, televisi, film dan produk-produk budaya populer, tubuh menemukan citranya sebagai komoditi (Featherstone, 1991, p. 65). Maraknya berbagai produk perawatan tubuh, pusat-pusat kebugaran dan sekolah-sekolah kepribadian meneguhkan premis bahwa tubuh merupakan aset atau kapital budaya.
Merujuk Featherstone, perhatian yang diberikan terhadap tubuh dapat dibedakan menjadi dua kategori: bagian dalam tubuh dan bagian luar tubuh (Featherstone, 1991, p. 171). Bagian dalam meliputi perawatan dan penanganan kesehatan serta berfungsinya organ-organ tubuh secara normal. Bidang perhatian ini mencakup pencegahan penyakit, penyalahgunaan obat dan kemerosotan kondisi tubuh akibat penuaan. Sementara itu, bagian luar tubuh mencakup penampilan dan pengontrolan tubuh serta gerakan tubuh di dalam ruang sosial. Dewasa ini, bagian luar tubuh lebih banyak mendapat perhatian dibanding bagian dalam tubuh. Penampilan luar tubuh kini menjadi unsur utama tubuh. Identitas diri pun menjadi sangat ditentukan oleh penampakan luar tubuh. Seperti kata Marilyn Monroe: “The body is meant to be seen, not all covered up” (Tubuh dimaksudkan untuk dilihat, tidak untuk ditutupi).

Saya menolak keyakinan ini. Namun nampaknya, dan sayangnya, itulah langgam utama kebudayaan kontemporer kita dewasa ini: aku adalah penampilan tubuhku.

 Sumber

Menelisik (Sosiologi) Tubuh By medhyhidayat.com

Notes :
- Harap Berkomentar Sesuai Dengan Judul Bacaan
- Tidak diperbolehkan Untuk Mempromosikan Barang Atau Berjualan
- Bagi Komentar Yang Menautkan Link Aktif Dianggap Spam
- Silahkan Follow [ Join With us ] 100% saya Akan Follow back